April 11, 2012

Taman Bunga


Setelah sekian lama hari ini adalah hari yang ia tunggu. Sudah lima tahun ia terpisah dengan kekasih hatinya. Selama ini mereka terpisah Karena sang pujaan harus menyelesaikan studinya di kota. Lima tahun lalu perpisahan itu tak terelakkan bagi mereka. Kesedihan yang mendalam dan perpisahan yang sangat mengharukan.
Sabtu pagi lima tahun silam, gadis dengan rambut panjang hitam sebahu duduk termangu dibangku di taman, persis dimana ia duduki sekarang. Air mata dipipinya menetes jernih dan raut wajahnya memerah bak mawar yang bermekaran dimusim semi. Gadis itu terisak tanpa suara, pemuda disebelahnya tak tahu apa yang harus dilakukannya ia hanya diam dan memandang dengan sangat iba dan gurat rasa bersalah tampak pada wajahnya yang tampan.
Kau pergilah, aku akan menunggumu disini.” Kata Anita “Raih cita-citamu disana, Man” lanjutnya sambil mengusap airmatanya yang meleleh dipipinya.
Tak sedikitpun, pemuda yang ia cintainya itu membuka mulut untuk menanggapi. Ia hanya diam, ia mengumpat dalam hatinya, andai keadaan bisa diubah semua menjadi mudah. Jarak tidak akan memisahkan, ia hanya ingin mengabdi kepada negerinya.
Sebelum perpisahan ini, mereka hanya sepasang sahabat yang begitu erat. Mereka hanya terpisahkan oleh sungai batu. Mereka memiliki persamaan untuk menyatukan desa mereka dari keterisolasian karena tidak ada akses pendidikan yang memadai. Hanya dia dan Anita yang melanjutkan sekolah diseberang desa. Memerlukan tiga puluh menit untuk bisa tiba disekolah mereka.
Seakan keterbatasan itu telah membatasi pandangan dan langkah penduduk lainya. Namun, bagi mereka itulah tantanga yang harus dilalui. Lukman tinggal bersama orang tuanya sedangkan Anita tinggal bersama neneknya. Orang tua Anita telah meninggal dunia ketika usianya masih enam tahun ketika bencana tanah longsor terjadi dan merenggut puluhan nyawa termasuk orang tuanya. Nenek selalu mendidiknya dengan bahwa ia harus memiliki cita-cita yang tinggi, sehingga ia bisa membuat perubahan didalam hidupnya kearah yang lebih baik. Begitu pula, orang tua Lukman adalah petani yang memiliki cukup wawasan serta pendidik yang baik. Mereka mendidik Lukman supaya menjadi orang yang sukses, pemikiran mereka penuh dengan keinginan untuk maju. Cita-cita yang terus mereka kejar.
Semoga kita tidak terlambat masuk kelas lagi.” Kata Anita penuh harap
Ya. Semoga.”
Kelas sudah tampak riuh dengan murid-murid yang berlalu lalang didepan kelas, mereka akan maju untuk mempresentasikan cita-cita mereka. Lalu mereka masuk kelas, Ibu Guru belum memasuki kelas.
Syukurlah, kita tidak terlambat.”
Setiap hari dengan susah payah mereka menyusuri jalan tak beraspal yang terjal untuk bisa kesekolah. Bagi mereka, itu yang harus dilalui jika ingin tiba disekolah lebih cepat. Tidak ada kendaraan didesa mereka kecuali sepeda yang tidak memungkinkan untuk melalui jalan yang sangat terjal. Banyak anak seusia mereka yang tidak sekolah, mereka memilih untuk membantu orang tua mereka bertani.
“Saya ingin menjadi seorang pengajar.” Kata Anita didepan kelas.
“Mengapa kamu ingin menjadi seornag pengajar, Anita?” tanya Ibu Guru
Saya, saya ingin semua orang bisa meraih cita-cita mereka. Saya menginginkan anak-anak yang ada didesa saya bisa membaca dan memperoleh pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa meraih cita-cita mereka yang lebih baik.” Jawab Anita, lalu seluruh kelas bertepuk tangan.
Mulia sekali cita-citamu, Anita.” Kata ibu Guru yang baik hati “Apapun cita-cita kalian, raihlah dengan penuh keyakinan dan sungguh-sungguh serta teruslah belajar.”
Bertahun-tahun kemudian hingga akhirnya hari perpisahan. Mereka telah mengikat janji untuk mencintai, demi apa yang mereka cita-citakan. Anita telah membuka kelas kecil dikampungnya sambil mengajar mengaji. Ia mengajar membaca huruf latin sebelum pembelajaran ilmu agama dimulai. Selepas Ashar Anita telah memulai pengajaran kepada anank-anak didesanya. Ia adalah gadis yang menakhlukan hati Lukman.
Demi sebuah cita-cita yang dulu pernah kita saling ikrarkan.” Kata Lukman “Ku pasti kembali. Dan menepati apa yang pernah aku janjikan.”
Jika kau tidak kembali pun, tak apa.” Kata Anita tiba-tiba.
Apa maksudmu?” Tanya Lukman dengan kehernan yang teramat sangat.
 Hingga hari keberangkatan Lukman, Anita sudah mempersiapkan semuanya. Ia telah menata hatinya siap melepas kepergian kekasih hatinya demi mimpi dan kemajuan peradaban yang lebih baik.
Anita, tunggu aku. Aku pasti kembali.” Kata Lukman “Aku akan berada ditaman ini dihari aku kembali bersama kemajuan peradaban desa ini.”
Ya, aku akan menunggumu. Disini.”
Tunggu aku, ingat aku pasti kembali.”
Selama ketiadaan Lukman disisinya Anita terus mengajar anak-anak didesanya. Ia adalah guru yang sangat sabar dan baik kepada anak didiknya. Tanpa mengenal lelah ia terus memberikan pengajaran kepada muridnya. Waktu terus berlalu, perbaikan demi perbaikan telah terlihat banyak anak-anak didesanya yang kini pintar membaca. Itulah tekadnya, ingin membuat desanya lebih cerah dengan ilmu.
Ia terus menanti Sang pujaan hati. Kapan Lukman akan pulang. Menurut perhitungannya selesai sarajananya Lukman akan langsung kembali kedesa dan mengabdi untuk desanya. Dan itu adalah hari ini. Ia bersiap-siap menunggunya di taman, tempatnya berpisah dulu.
Pagi ini gerimis turun, tidak deras tetapi sangat memilukan untuk penantian yang sangat panjang. Gadis itu menunggu dengan setia mengawasi jalan setapak yang kini mulai basah karena gerimis. Ia dan payung berwarna birunya sendu dibawah awan kelabu yang menggantung hujan. Dalam hatinya ia berharap kekasihnya itu akan segera datang. Waktu terus berjalan, ia belum juga datang.
Ia masih menunggu dengan penuh kesetiaan. Berbagai perasaan brkecamuk didalam hatinya; bahagia, haru, gregetan karena ia belum juga menampakkan batang hidungnya. Ia sangat gelisah. Hujan akhirnya turun. Deras sekali, Anita belum beranjak dari tempat ia duduk. Percikan air hujan membasahi seluruh hatinya.
Percikan air, membasahi seluruh pakaianya. Rambutnya yang hitam telah basah oleh air hujan. Ia berdoa, semoga Lukman akan datang setelah hujan deras ini turun. Pikirannya terus berlayar bersama aliran air hujan yang melewati kakinya. Perlahan ia bersenandung dengan penuh penghayatan.
Jika kau akan datang, maka datanglah
Bersama cinta yang telah berlayar bersama butiran hujan
Sang Maha Kuasa mengetahui apa yang kurasa
Yakinlah apa pun itu, kau akan meraihnya
Tuhan mengetahui apa yang aku rasa
Sudah hampir satu setengah jam ia berada di taman, hujan pun sudah reda tetapi, awan kelabu masih menggantung dilangit. Ia berpikir akan pulang saja. Dalam hatinya berkata mungkin hari itu bukanlah hari ini, aku akan kembali menantimu besok. Hari berikutnya ia kembali menunggu. Namun, ia belum juga datang. Berikutnya dan berikutnya belum juga ia datang. Ia semakin was-was apakah ia tidak akan kembali?
Ia hampir putus asa menunggu, belum juga ia datang.
Ia harus sungguh-sungguh menjalani dedikasinya terhadap anak didik didesanya. Mungkin bukan saatnya ia menanti Lukman, tapi ia harus mencerdaskan desanya. Ia larut dalam dunianya. Nun jauh disana, pemuda bernama Lukman bersiap-siap kembali kekampung halamannya. Ia berkemas dan berpamitan kepada teman-temanya bahwa ia akan mengabdi untuk desanya.
“Aku akan pulang kedesa, Bu.”
“Apakah kau telah memikirkannya matang-matang, kau tidak ingin berkaraya disini?” tanya wanita paruh baya itu.
“Aku ingin, desa itu maju dan cerah karena ilmu.”
“Baiklah, Ibu setuju. Ibu dan adik mu akan berdoa untuk keberhasilanmu.”
“Terima kasih, Bu.”
Ia sangat menghormati Ibunya, Ayahnya telah meninggal dunia dua tahun lalu. Ia yang menjadi kepala keluarga sekarang. Adiknya kini sedang menempuh kuliahnya dan dua tahun lagi baru akan lulus. Perjalanan dari rumahnya menuju desa kelahirannya yang nyaman sangat memakan waktu. Ia harus berganti-ganti kendaraan. Dari terminal terakhir hanya ada satukali perjalanan menuju desanya. Semoga ia bisa mendapatkan mobil kesana.
Pagi ini hati Anita berdegup kencang, hatinya sangat condong untuk melangkah menuju taman. Ia melangkah begitu saja. Matahari masih enggan keluar, awan abu-abu menggantung dilangit. Ia melangkah cepat menuju taman. Begitu tiba disana, ia tidak memiliki bayangan apapun. Ia duduk dibangku yang sama. Mata hitamnya terus mengawasi jalan setapak, angin mengibarkan kerudung yang kini ia kenakan.
Dari kejauhan ia melihat sesosok yang tidak asing baginya, ia sangat mengenalnya. Ia kembali!
“Maaf mungkin aku sangat terlambat kembali.”
Gadis itu meneteskan air matanya, dengan mata berkaca ia mengucapkan puisi terindah yang dulu.
Demi Tuhan aku akan mengabdikan hidupku
Mencerahkan dunia dengan penuh cahaya cinta” ia terhenti
“Menyatu dalam langkah yang beiring
Dalam ridhoNya secerah cahaya ilmu yang diberkahi” lanjut Lukman
Mereka berjalan menuju sebuah tempat pengajian yang sangat indah, hanya sebuah gubuk disisi sawah yang menghadap kesungai besar.
“Inikah yang kau lakukan?”
“Ya, hanya sedikit”
“Kau adalah guru yang hebat”
Tuhan dan RasulNya memerintahkan kita untuk menuntut ilmu. Ilmu adalah pencerah bagi jiwa. Beragama harus berilmu pula. Ilmu yang bermanfaat adalah yang paling diperintahkan untuk dicari. "Khairul ilmi ma kaanatil khasyyah ma'ahu. Ilmu yang paling baik adalah yang disertai khasyyah." Khasyyah adalah rasa takut kepada Allah yang disertai mengagungkan Allah. Maka
segala jenis ilmu yang tidak mendatangkan rasa takut kepada Allah dan juga tidak mendatangkan pengagungan kepada Allah tiada kebaikannya sama sekali.1
1 El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih (Solo, Republika:2008) 330

No comments:

Post a Comment