Setelah
sekian lama hari ini adalah hari yang ia tunggu. Sudah lima tahun ia
terpisah dengan kekasih hatinya. Selama ini mereka terpisah Karena
sang pujaan harus menyelesaikan studinya di kota. Lima tahun lalu
perpisahan itu tak terelakkan bagi mereka. Kesedihan yang mendalam
dan perpisahan yang sangat mengharukan.
Sabtu
pagi lima tahun silam, gadis dengan rambut panjang hitam sebahu duduk
termangu dibangku di taman, persis dimana ia duduki
sekarang. Air mata dipipinya menetes jernih dan raut wajahnya memerah
bak mawar yang bermekaran dimusim semi. Gadis itu terisak tanpa
suara, pemuda disebelahnya tak tahu apa yang harus dilakukannya ia
hanya diam dan memandang dengan sangat iba dan gurat rasa bersalah
tampak pada wajahnya yang tampan.
“Kau
pergilah, aku akan menunggumu disini.” Kata Anita “Raih
cita-citamu disana, Man” lanjutnya sambil mengusap airmatanya yang
meleleh dipipinya.
Tak
sedikitpun, pemuda yang ia cintainya itu membuka mulut untuk
menanggapi. Ia hanya diam, ia mengumpat dalam hatinya, andai keadaan
bisa diubah semua menjadi mudah. Jarak tidak akan memisahkan, ia
hanya ingin mengabdi kepada negerinya.
Sebelum
perpisahan ini, mereka hanya sepasang sahabat yang begitu erat.
Mereka hanya terpisahkan oleh sungai batu. Mereka memiliki persamaan
untuk menyatukan desa mereka dari keterisolasian karena tidak ada
akses pendidikan yang memadai. Hanya dia dan Anita yang melanjutkan
sekolah diseberang desa. Memerlukan tiga puluh menit untuk bisa tiba
disekolah mereka.
Seakan
keterbatasan itu telah membatasi pandangan dan langkah penduduk
lainya. Namun, bagi mereka itulah tantanga yang harus dilalui. Lukman
tinggal bersama orang tuanya sedangkan Anita tinggal bersama
neneknya. Orang tua Anita telah meninggal dunia ketika usianya masih
enam tahun ketika bencana tanah longsor terjadi dan merenggut puluhan
nyawa termasuk orang tuanya. Nenek selalu mendidiknya dengan bahwa ia
harus memiliki cita-cita yang tinggi, sehingga ia bisa membuat
perubahan didalam hidupnya kearah yang lebih baik. Begitu pula, orang
tua Lukman adalah petani yang memiliki cukup wawasan serta pendidik
yang baik. Mereka mendidik Lukman supaya menjadi orang yang sukses,
pemikiran mereka penuh dengan keinginan untuk maju. Cita-cita yang
terus mereka kejar.
“Semoga
kita tidak terlambat masuk kelas lagi.” Kata Anita penuh harap
“Ya.
Semoga.”
Kelas
sudah tampak riuh dengan murid-murid yang berlalu lalang didepan
kelas, mereka akan maju untuk mempresentasikan cita-cita mereka. Lalu
mereka masuk kelas, Ibu Guru belum memasuki kelas.
“Syukurlah,
kita tidak terlambat.”
Setiap
hari dengan susah payah mereka menyusuri jalan tak beraspal yang
terjal untuk bisa kesekolah. Bagi mereka, itu yang harus dilalui jika
ingin tiba disekolah lebih cepat. Tidak ada kendaraan didesa mereka
kecuali sepeda yang tidak memungkinkan untuk melalui jalan yang
sangat terjal. Banyak anak seusia mereka yang tidak sekolah, mereka
memilih untuk membantu orang tua mereka bertani.
“Saya
ingin menjadi seorang pengajar.” Kata Anita didepan kelas.
“Mengapa
kamu ingin menjadi seornag pengajar, Anita?” tanya Ibu Guru
“Saya,
saya ingin semua orang bisa meraih cita-cita mereka. Saya
menginginkan anak-anak yang ada didesa saya bisa membaca dan
memperoleh pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa meraih
cita-cita mereka yang lebih baik.” Jawab Anita, lalu seluruh kelas
bertepuk tangan.
“Mulia
sekali cita-citamu, Anita.” Kata ibu Guru yang baik hati “Apapun
cita-cita kalian, raihlah dengan penuh keyakinan dan sungguh-sungguh
serta teruslah belajar.”
Bertahun-tahun
kemudian hingga akhirnya hari perpisahan. Mereka telah mengikat
janji untuk mencintai, demi apa yang mereka cita-citakan. Anita telah
membuka kelas kecil dikampungnya sambil mengajar mengaji. Ia mengajar
membaca huruf latin sebelum pembelajaran ilmu agama dimulai. Selepas
Ashar Anita telah memulai pengajaran kepada anank-anak didesanya. Ia
adalah gadis yang menakhlukan hati Lukman.
“Demi
sebuah cita-cita yang dulu pernah kita saling ikrarkan.” Kata
Lukman “Ku pasti kembali. Dan menepati apa yang pernah aku
janjikan.”
“Jika
kau tidak kembali pun, tak apa.” Kata Anita tiba-tiba.
“Apa
maksudmu?” Tanya Lukman dengan kehernan yang teramat sangat.
Hingga
hari keberangkatan Lukman, Anita sudah mempersiapkan semuanya. Ia telah
menata hatinya siap melepas kepergian kekasih hatinya demi mimpi dan
kemajuan peradaban yang lebih baik.
“Anita,
tunggu aku. Aku pasti kembali.” Kata Lukman “Aku akan berada
ditaman ini dihari aku kembali bersama kemajuan peradaban desa ini.”
“Ya,
aku akan menunggumu. Disini.”
“Tunggu
aku, ingat aku pasti kembali.”
Selama
ketiadaan Lukman disisinya Anita terus mengajar anak-anak didesanya.
Ia adalah guru yang sangat sabar dan baik kepada anak didiknya. Tanpa
mengenal lelah ia terus memberikan pengajaran kepada muridnya. Waktu
terus berlalu, perbaikan demi perbaikan telah terlihat banyak
anak-anak didesanya yang kini pintar membaca. Itulah tekadnya, ingin
membuat desanya lebih cerah dengan ilmu.
Ia
terus menanti Sang pujaan hati. Kapan Lukman akan pulang. Menurut
perhitungannya selesai sarajananya Lukman akan langsung kembali
kedesa dan mengabdi untuk desanya. Dan itu adalah hari ini. Ia
bersiap-siap menunggunya di taman, tempatnya berpisah dulu.
Pagi
ini gerimis turun, tidak deras tetapi sangat memilukan untuk
penantian yang sangat panjang. Gadis itu
menunggu dengan setia mengawasi jalan setapak yang kini mulai basah
karena gerimis. Ia dan payung berwarna birunya sendu dibawah awan
kelabu yang menggantung hujan. Dalam hatinya ia berharap kekasihnya
itu akan segera datang. Waktu terus berjalan, ia belum juga datang.
Ia
masih menunggu dengan penuh kesetiaan. Berbagai perasaan brkecamuk
didalam hatinya; bahagia, haru, gregetan karena ia belum juga
menampakkan batang hidungnya. Ia sangat gelisah. Hujan akhirnya
turun. Deras sekali, Anita belum beranjak dari tempat ia duduk.
Percikan air hujan membasahi seluruh hatinya.
Percikan
air, membasahi seluruh pakaianya. Rambutnya yang hitam telah basah
oleh air hujan. Ia berdoa, semoga Lukman
akan datang setelah hujan deras ini turun. Pikirannya terus berlayar
bersama aliran air hujan yang melewati kakinya. Perlahan ia
bersenandung dengan penuh penghayatan.
Jika
kau akan datang, maka datanglah
Bersama
cinta yang telah berlayar bersama butiran hujan
Sang
Maha Kuasa mengetahui apa yang kurasa
Yakinlah
apa pun itu, kau akan meraihnya
Tuhan
mengetahui apa yang aku rasa
Sudah
hampir satu setengah jam ia berada di taman, hujan pun sudah reda
tetapi, awan kelabu masih menggantung dilangit. Ia berpikir akan
pulang saja. Dalam hatinya berkata mungkin hari itu bukanlah hari
ini, aku akan kembali menantimu besok. Hari berikutnya ia kembali
menunggu. Namun, ia belum juga datang. Berikutnya dan berikutnya
belum juga ia datang. Ia semakin was-was apakah ia tidak akan
kembali?
Ia
hampir putus asa menunggu, belum juga ia datang.
Ia
harus sungguh-sungguh menjalani dedikasinya terhadap anak didik
didesanya. Mungkin bukan saatnya ia menanti Lukman, tapi ia harus
mencerdaskan desanya. Ia larut dalam dunianya. Nun jauh disana,
pemuda bernama Lukman bersiap-siap kembali kekampung halamannya. Ia
berkemas dan berpamitan kepada teman-temanya bahwa ia akan mengabdi
untuk desanya.
“Aku
akan pulang kedesa, Bu.”
“Apakah
kau telah memikirkannya matang-matang, kau tidak ingin berkaraya
disini?” tanya wanita paruh baya itu.
“Aku
ingin, desa itu maju dan cerah karena ilmu.”
“Baiklah,
Ibu setuju. Ibu dan adik mu akan berdoa untuk keberhasilanmu.”
“Terima
kasih, Bu.”
Ia
sangat menghormati Ibunya, Ayahnya telah meninggal dunia dua tahun
lalu. Ia yang menjadi kepala keluarga sekarang. Adiknya kini sedang
menempuh kuliahnya dan dua tahun lagi baru akan lulus. Perjalanan
dari rumahnya menuju desa kelahirannya yang nyaman sangat memakan
waktu. Ia harus berganti-ganti kendaraan. Dari terminal terakhir
hanya ada satukali perjalanan menuju desanya. Semoga ia bisa
mendapatkan mobil kesana.
Pagi
ini hati Anita berdegup kencang, hatinya sangat condong untuk
melangkah menuju taman. Ia melangkah begitu saja. Matahari masih
enggan keluar, awan abu-abu menggantung dilangit. Ia melangkah cepat
menuju taman. Begitu tiba disana, ia tidak memiliki bayangan apapun.
Ia duduk dibangku yang sama. Mata hitamnya terus mengawasi jalan
setapak, angin mengibarkan kerudung yang kini ia kenakan.
Dari
kejauhan ia melihat sesosok yang tidak asing baginya, ia sangat
mengenalnya. Ia kembali!
“Maaf
mungkin aku sangat terlambat kembali.”
Gadis
itu meneteskan air matanya, dengan mata berkaca ia mengucapkan puisi
terindah yang dulu.
“Demi
Tuhan aku akan mengabdikan hidupku
Mencerahkan
dunia dengan penuh cahaya cinta” ia
terhenti
“Menyatu
dalam langkah yang beiring
Dalam
ridhoNya secerah cahaya ilmu yang diberkahi” lanjut
Lukman
Mereka
berjalan menuju sebuah tempat pengajian yang sangat indah, hanya
sebuah gubuk disisi sawah yang menghadap kesungai besar.
“Inikah
yang kau lakukan?”
“Ya,
hanya sedikit”
“Kau
adalah guru yang hebat”
Tuhan
dan RasulNya memerintahkan kita untuk menuntut ilmu. Ilmu adalah
pencerah bagi jiwa. Beragama harus berilmu pula. Ilmu yang bermanfaat
adalah yang paling diperintahkan untuk dicari. "Khairul
ilmi ma kaanatil khasyyah ma'ahu.
Ilmu yang paling baik adalah yang disertai khasyyah."
Khasyyah
adalah
rasa takut kepada Allah yang disertai mengagungkan Allah. Maka
segala
jenis ilmu yang tidak mendatangkan rasa takut kepada Allah dan juga
tidak mendatangkan pengagungan kepada Allah tiada kebaikannya sama
sekali.1
1
El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih (Solo, Republika:2008) 330
No comments:
Post a Comment