“I'm
sorry, are you Indonesian?” suara bening seorang perempuan
tiba-tiba memecah lamunannya. Lalu Bebep mengalihkan pandangannya ke
arah suara itu. Sesaat ia terdiam.
“Ya,
benar. Anda juga?” kata Bebep. Ternyata ada dua perempuan yang
duduk diseberang kursinya dan keduanya berkerudung.
“Ya,
benar. Alhamdulillah.” jawab wanita yang sama, yang tadi bertanya
kepadanya. “Kami mau ke perpustakaan yang ada di kota ini. Tapi
saya tidak tahu dimana.” kata wanita itu
“Oh
ya, pemberhentian kedua turun saja. Gedungnya yang berwarna cokelat.”
kata Bebep.
“Terima
kasih” kata wanita itu. Lalu tak lama tiba dipemberhentian kedua,
kedua wanita itu turun. “Terima kasih, Mas. Mari”
“Ya,
sama-sama” Bebep tetap dikursinya dan meneruskan perjalanannya.
Tiba-tiba ada yang hilang dari dalam relung jiwanya yang sejuk baru
saja terjadi.
Ia
terbangun dari mimpinya.
“Astaghfirullah,
tadi kok bisa mimpi seperti itu?” kata Bebep
“Semoga
bukan mimpi yang tidak-tidak.” lanjutnya. Pikirannya mulai berjalan
sudah hampir jam setengah lima pagi, subuh lima menit lagi. Kemudian
ia bergegas dari tempat tidurnya, mandi lalu sholat subuh di masjid
dekat rumahnya. Jalan-jalan sudah mulai ramai dengan orang-orang yang
berangkat bekerja ataupun para penjual sayur mayur yang baru pulang
dari pasar. Ibu-bu rumah tanga yang memiliki kegiatan mulia, bangun
pagi-pagi sekali bersama suaminya berangkat kepasar lalu belanja
banyak sayur mayur yang masih segar.
Mentari
masih enggan
menampakkan wujud hangatnya yang dirindukan oleh semua
makhluk dibumi. Hanya semburat jingga diufuk timur saja yang baru
muncul perlahan. Burung-burung mulai berkicau menyemangati pagi ini.
Embun-embun pagi dan angin yang berhembus tidak lagi menusuk tulang
seperti dahulu.
“Bu,
aku berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum” kata Bebep kepada Ibunya
“Wa'alaikum
salam. Hati-hati ya”
“Mas
Bebep tungguin” teriak Dina dari dalam “Bu, aku berangkat.
Assalamu'alaikum”
“Wa'alaikum
salam. Hati-hati din, gak usah lari seperti itu.”
“Iya
bu” kata Dina sambil berlari pelan dan nyengir.
Kedua beradik itu
berjalan bersama, kebetulan SMA Dina dan kampusnya Bebep satu arah.
Jadi bisa berangkat bareng.
“Mas,
kenal Diana gak?” tanya Dina
“Diana
mana?”
“Diana
yang dulu pernah jadi ketua OSIS disekolah. Satu angkatan juga sam
Mas, masak nggak kenal?”
“Diana
Alviani Ahmad?”
“Ya,
bener.”
“Kenapa?”
“Kenal
nggak?”
“Kenal,
dia itu satu kelas sama Mas dulu. Sekarang juga satu fakultas. Emang
kenapa sih?”
“Kemarin
dia kan kesekolah, tiba-tiba aku tanya kak Diana kenal nggak sama Mas
Bebep. Terus dia jawab kenal”
“Nah,
kalo kamu dapat jawaban seperti itu harusnya kamu sudah tahu dong
kalo Mas juga kenal sama dia.”
“Dia
cantik kan, Mas?” tanya Dina semakin detail Bebep hanya diam.
“Coba
Mas Bebep, jadian sama dia” kata Dina “Mungkin bakal jadi
pasangan yang serasi. Kok Mas diam aja ya?” lanjut Dina.
“Kenapa
Mas nggak nembak dia aja Mas? Kalo Dina perhatikan sepertinya Mas gak
pernah pacaran deh, atau pacaran tapi backstreet
takut ketahuan Ibu?” tanya Dina lagi yang memang sangat cerewet.
Bebep tetap diam
mendengar pertanyaan Dina yang super cerewet itu.
“Kok
diam aja Mas?” tanya Dina lagi
“Iya.
Mas nggak pengin pacaran.” kata Bebep pendek
“Kok
gitu Mas?” tanya Dina lagi
“Emang
kamu maunya Mas jawab apa?” balas Bebep “Kan, nyatanya memang Mas
nggak mau pacaran. Takut dosa, lebih banyak nggak manfaatnya
dibanding dengan manfaatnya. Atau jangan-jangan kamu mulai pacaran
ya?”
“Ih
nggak-nggak. Aku nggak mau, lagi pula tadi aku kan cuma tanya aja.
Aku juga nggak mau pacaran mungkin alasannya gak seperti Mas.
Sekarang ini aku masih sekolah dan ingat pesan ibu supaya jangan
pacaran ketika masih sekolah akan ganggu pelajaran.”
“Kalau
begitu bagus.”
“Menurut
Mas, kak Diana gimana orangnya?”
“Dia
orangnya pintar, cerdas, baik, terus apalagi ya... dia gak cerewet
kayak kamu suka nanya-nanya apa lagi sambil diperjalanan kayak gini.
Mas kan perlu konsentrasi...”
“Ah,
Mas Bebep gak asyik nih. Yaudah aku diam aja. Biar gak ganggu.”
kata Dina sambil mengerucutkan bibirnya.
“Maaf
Din, gak usah marah ya? Nanti Mas ceritain deh.”
Tetapi Dina hanya
diam, ia bingung kenapa jadi kakaknya yang jadi merasa bersalah?
***
Pagi ini Diana
sudah melangkah jauh dari rumahnya, kekampus tercintanya dimana ia
menuntut ilmu. Gedung fakultas ilmu sosial adalah gedung yang paling
unik yang palung ia sukai dikampusnya. Gedung berwarna putih agak
kelabu berdiri kokoh dengan arsitektur klasik eropa. Gedung itu
memang tua tetapi masih kokoh berdiri memberi perlindungan bagi para
penuntut ilmu didalamnya.
Udara
sejuk pinggir ibu kota menyambut pagi yang dihangat-hangatkan oleh
cahaya mentari. Langkah-langkah pelan terdengar sangat pelan dan
lirih. Langkahnya terhenti didepan mading fakultas. Memilah space
yaang baik untuk pengumuman event dua minggu mendatang. Layout
sudah siap, tinggal di print diredaksi mading dan jadilah sebuah
publikasi yang menarik.
Dari
kejauhan terdengar derap langkah cepat. Diana melanjutkan membuka
ruang redaksi mading. Didalam sudah ada Zahra yang sedang sibuk
didepan layar komputernya menyelesaikan deadline.
“Ukhti
Diana, sudah datang?” sapa Zahra
“Lho,
kamu sudah duluan, masih belum selesai kah?”
“Sudah
kok. Sedang membaca ulang aja. Kalau-kalau ada yang tidak pas. Jadi
perlu perbaikan.”
“Kak,
aku mau cerita sama kakak.” kata Diana
“Cerita
apa nih?”
Kemudian Diana
menutup pintu dan memastikan bahwa tidak ada yang mendengarnya
kecuali Zahra.
“Begini.
Apa kakak pernah dipinang?”
“Pernah,
sekali.”
“Lalu?”
“Aku
tidak menerima karena, aku tak yakin bisa mencintainya. Karena aku
belum siap untuk membangun rumah tangga. Ngomong-ngomong kenapa tanya
tentang lamaran seperti itu?”
Diana terdiam
“Ada
yang meminang?”
“Ya,
begitu kak.”
“Lalu
kamu bimbang untuk menerima atau tidak?”
“Ya.”
“Istikharah
dan minta petunjuk dan jawaban yang terbaik.”
“Sudah,
aku belum pas saja menerima ini.”
“Apa
ada yang telah menyusup didalam hatimu, Di?”
“Begitulah
kira-kira. Orangnya sangat pemberani dan menghargai perempuan. Ia
mandiri, tegar dalam menghadapi kesulitan dan yang paling penting dia
sangat bisa membimbingku.”
“Kau
sudah menemukan orangnya bukan?”
Diana hanya diam.
“Kalau
begitu, kau coba minta tolong kepada orang terdekatmu atau orang yang
kamu percaya untuk membicarakan tentang hal ini kepada orang itu.
Gimana?”
“Aku
merasa belum siap untuk membicarakannya kepada siapapun untuk itu.
Aku ingin konsentrasi untuk ujian dulu kak.”
“Baiklah,
tetap dekat dengan Allah. Supaya kita tidak menjadi buta karena
cinta.”
“Terima
kasih kak.”
No comments:
Post a Comment