“Apaan
sih?! Kata Mama kalo masih kecil gak boleh pacaran.”
“Van,
dicariin Vrisca tuh...”
“Apaan
sih Kak. Dari tadi juga Vrisca ada disini.”
“Iya
nih Kak Fadli aneh-aneh aja, siapa juga yang nyariin Ivan. Nanti aku
bilangin ke Mamanya lho.”
“Ciee
yang lagi pacaran.”
“Mamaaaa....
Kak Fadli nih gangguin Ivan sama Vrisca.”
Temanku
yang bernama Vrisca tidak pernah lagi terlihat oleh mataku. Sudah
hampir lima tahun sejak kepergian kami ke Malaysia membuat kami
terpisah jauh sekali dan tanpa tahu apa yang terjadi satu sama lain.
Mengingat dia dan kelakuan kami dahulu selalu membuatku terkikik
sendiri. Dia adalah teman pertamaku di sekolah dasar dua belas tahun
lalu. Selepas sekolah dasar kami berpisah jalan aku sekolah di
sekolah menengah di Jakarta dan melanjutkan ke Malaysia hingga kini.
Satu hal yang tidak pernah aku lupa tentang dia, dia selalu ada untuk
temannya ini, ya aku.
Tiga
tahun pertama berteman dengannya tidak pernah ada sedikitpun rasa
malu hadir dibenakku karena berteman dengan seorang anak perempuan.
Dia adalah teman pertamaku. Aku ingat saat pertama berkenalan, aku
sendiri berangkat dihari pertama sekolahku karena sekolah tidaklah
terlalu jauh bagiku hanya selemparan batu dan dia diantar oleh
ibunya.
“Tuh,
ada teman kamu juga. Ibu pulang ya?” kata ibunya
“Ibu,
tungguin aku disini. Ya?” kata Vrisca
“Vrisca,
kamu kan udah ada temannya. Jadi ibu nggak usah nunggu kamu disini.
Sudah ya ibu mau masak.” kata Ibunya lalu mencium kening anaknya.
Aku
ingat matanya berkaca-kaca saat itu. Belum sampai menangis aku
kearahnya.
“Ih,
kamu cengeng. Kok nangis? Aku aja berangkat sendiri” kataku.
Ia
hanya diam dan perlahan memalingkan wajahnya kearahku. Pada saat itu
tinggi kami hanya setinggi meja dikelas, untuk duduk dikursi kaki
kami tidak dapat menyentuh lantai.
“Aku
nggak nangis kok.” katanya sambil mengelap ingus yang merembes dari
hidungnya.
Aku
hanya tersenyum.
“Nama
kamu siapa?” tanyaku
“Vrisca”
katanya dengan lidah yang masih agak sedikit cedal “Kamu?”
“Aku
Ivan. Oh ya kamu yang tinggal di ujung jalan sana kan?”
“Iya.”
Mulai
saat itu kami menjadi sahabat yang sangat kuat. Meskipun hanya
sepasang anak kecil.
Saat
ditahun kedua kami, kami memiliki acara favorit yang sama yaitu
sebuah serial asal Mexico yang menceritakan tentang persahabatan.
Acara itu ditayangkan pada siang hari ketika kami sudah pulang dari
sekolah. Acara itu adalah hanya bagian kecil yang masih aku ingat
tentang dia. Jika diuraikan tulisan ini tidak akan cukup untuk
mengungkapkannya. Masa kecil yang sangat indah kurasakan. Suatu
ketika aku mendapati diriku kecelakaan dengan baik ia menjengukku,
meskipun kami telah berubah menjadi remaja ikatan persahabatan kami
tidak terputus. Namun, pengetahuan dan juga aturan telah membuat kami
saling menghargai satu sama lain.
Kami
telah menyadari bahwa kami memiliki kehidupan yang harus
diperjuangkan masing-masing lebih dari sekedar persahabatan sepasang
anak kecil. Dan akhirnya kami berpisah negeri dan waktu. Ia tetap di
Indonesia dan aku melanjutkan studi di Malaysia. Apa yang aku ingat
terakhir kali tentang dia? Satu hal, senyumnya yang tulus.
“Maaf
pak, keluarga Pak Sutrisno yang tinggal dirumah ini sekarang dimana
ya?”
“Wah,
sudah pindah dua tahun lalu. Mas ini Ivan ya, anaknya Pak Alfian?”
“Benar,
Pak Salim. Masih ingat saya. Terima kasih Pak.” kataku
“Ngomong-ngomong pidahnya kemana Pak?”
“Dengar-dengar
mereka pindah ke Bogor. Kalau boleh saya tahu ada apa, Van?”
“Saya
ingin silaturahim saja, karena sudah lama tidak bertemu dengan
mereka. Bapak tahu alamatnya?”
“Sayang
sekali, Van saya nggak tahu.”
“Oh
iya Pak, bagaimana kabar disini semuanya?”
“Alhamdulillah
baik. Bapak dan Ibu masih ada di Malaysia, bagaimana kabar mereka?”
“Alhamdulillah
mereka baik-baik saja”
Perasaanku
kecut tidak berhasil menemukan mereka.
Hatiku
bingung, bagaimana aku bisa menemukan mereka. Setiap teman masa
kecilku telah aku temui satu persatu dan hasilnya nihil. Tidak
satupun dari mereka tahu keberadaan Vrisca. Ya Tuhan, aku tidak
berhasil menemukannya...
“Kalau
boleh aku memintamu untuk tetap tinggal, aku akan melakukan apa saja
untuk tetap bisa bersamamu.” sebuah kalimat yang tidak asing
ditelingaku. Aku mencari kesegala arah asal suara itu. Darimana
asalnya?
“Namun,
kau tak pernah mengijinkan hal itu. Katamu, “Hidup yang akan kau
jalani akan lebih berharga dibanding dengan...” dan kalimatmu
terputus.” kata suara itu lagi. Kali ini aku menangkap sosok yang
ada dihadapanku. Di sahabat masa kecilku. I found her.
No comments:
Post a Comment