February 04, 2012

spring



Musim semi baru kembali setelah musim dingin yang terasa amat sangat dingin sampai seluruh tulangku melinu. Aku senang akan kehadirannya. Hidup baru dimusim yang baru akan kuuntai sedalam kalimat syahadat yang telah kuucapkan berbulan yang lalu. Keluargaku kini sudah menerimaku sebagai seorang muslim. Setiap kali yang kurasakan bukan lagi hal yang semu, aku tahu Allah selalu ada disetiap waktuku. Beribu jalan aku pernah tempuh, aku katakan sangat berat untuk meyusurinya dan aku telah mengetahui dan terbukalah jalan itu.
                “Mom, maaf aku baru bisa kembali hari ini” kataku kepada wanita paruh baya berambut pirang dihadapanku. Ia adalah ibuku, Marianne Walter, aku sangat menyayanginya meskipun kami telah berbeda iman aku tetap menyayanginya dan ia yang utama setelah Allah dan RasulNya.
“Ya, tidak apa. Kau pasti sangat sibuk dengan kuliahmu, ya kan?” tanyanya begitu sangat lembut suaranya.
Saat perubahan hidupku, ibukulah yang paling menentangku. Ia dan keluargaku sangat menentang karena mereka memandang image Islam sangat buruk. Dinegara kami, Islam sangat ditakuti dan identik dengan kekerasan tapi, tidak bagiku sejak kejadian yang menimpaku malam itu.
“Muhammad?” panggilnya terhadapku, ucapannya masih belum fasih melafalkan nama
Islamku. Nama lahirku adalah Harris James Walter dan setelah aku menjadi mualaf aku menggantinya menjadi Muhammad.
“Ya, Mom. Begitulah dua minggu lagi sidang skripsiku akan dilaksanankan. Dan aku sangat sibuk untuk itu” kataku “Namun, aku mohon doa dari kalian semua”
“Aku akan mendoakan untuk kebaikanmu” Bagiku, Ibuku adalah segalanya. Tak ada bedanya kasih sayangnya hingga aku memilih keyakinanku. Sekarang ibu telah terbiasa dengan jadwal sholatku yang lima waktu dan bahkan ia sering mengingatkan seandainya sudah tiba waktunya.
                Aku anak terakhir dari dua saudara, kakakku perempuan. Julia Walter, ia telah menikah dengan Robert Brown dan kini memiliki anak yang masih berusia satu tahun. Mereka bertiga tinggal di New York. Kini dikota kecil ini Ibu tinggal sendiri, Ayahku James Walter sudah lama meninggal dunia, ketika aku masih di sekolah menengah. Ibuku  adalah wanita yang sangat tegar dalam menjalani hidup, ka sanggup menghidupi aku dan kakakku yang pada saat itu memutuhkan banyak biaya untuk pendidikan.
“Setelah lulus kuliahmu apa yang akan kau lakukan?” tanya Ibu disuatu senja yang hangat
“Aku akan fokus dengan pekerjaanku di California. Disana aku telah memiliki tempat, tepatnya di Islamic Center” jawabku “Semoga ini adalah jalanku”
Tiba-tiba Ibu meneteskan airmatnya
“Mengapa kau menangis?”
“Tidak, aku tidak”
“Maafkan aku. Jika selama hidupku selalu menyusahkan dirimu, Mom”
Air bening terus mengular dari ujung matanya, lalu aku beranjak dari tempat dudukku dan memeluknya dari belakang. Aku sungguh mencintainya.
“Saatnya sudah tepat bagimu” katanya lagi matanya yang sewarna dengan mataku masih menelurkan butir bening. Kami memiliki warna mata yang sama.
“Carilah sesuatu yang ingin kau cari. Kau telah tumbuh menjadi lelaki dewasa, pasti Dad akan bangga pada dirimu” katanya lagi
“Besok kita ke makam, Dad?” tanyaku
Keesokkan harinya kami berangkat ke makam Ayah yang tidak begitu jauh dengan rumah kami. Ayah dimakamkan di kompleks pemakaman disamping gereja. Musim semi yang masih sangat dingin, Ibu sudah siap dengan kunjungan ini.
“Sudah lama sekali aku tidak kesini” kataku lirih
“Ya, andai Ayahmu masih ada rumah kita. Tertawa bersama kita” kata Ibu
Aku hanya tersenyum, ia terlihat begitu merindukannya.
Setelah berdoa dihadapan pusara Ayah, Ibu masuk kedalam gereja disaming kompleks pemakaman aku mengikutinya dari belakang. Lalu ia duduk dan memejamkan mata, ia berdoa dengan penuh khikmat. Sama saat aku belum mengenal Islam. Kemudian selesai, ia beranjak. Kami kembali kerumah. Aku tak berani menanyakan sesuatu kepada Ibu, wajahnya begitu muram. Ia terlihat sangat letih dan tua.
“Nak, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” kata-katanya begitu dalam
Aku belum pernah mendengar suaranya seperti ini.
“Insya Allah, apa itu. Mom?”
“Aku ingin kau cepat untuk membina rumah tangga. Ingat aku sudah tidak muda lagi. Waktuku tidak banyak didunia ini. Dan Tuhan akan memanggilku, kau sebagai anak muda harus siap untuk menjalani hidup yang lebih bertanggung jawab. Kau harus menjadi Imam yang baik, ya kan begitu kata Islam?”
“Ya, Mom”
“Supaya kau ada yang mendampingi saat kau suka ataupun duka”
“Mom, aku sangat menyayangimu” Dan akupun memeluknya begitu erat.
“Aku ingin kau berhasil menjalani hidupmu. Kau telah memilih jalanmu, semoga itu yang terbaik”
Aku ingin sekali, seandainya Allah bisa mengabulkan doa Ibu, dan hidayah menghampirinya. Aku akan tenang. Sesekali aku lihat tatapannya yang kosong dan dalam. Aku belum pernah melihatnya seperti ini. Aku tak tahu apa yang terjadi, apa yang akan terjadi?
                Ya Allah, buang jauh-jauh prasangka burukku.
“Muhammad, anakku” kata Ibu suaranya semakin lama semakin lirih dan seperti berbisik.
“Aku… Aku ingin, kau menuntunku kepada Tuhanmu”
Aku bergetar  mendengarnya, Allahu Akbar. Apa yang akan terjadi? Apakah ini hidayahMu?
Aku sangat bingung,
“Mom, bertahanlah. Apa yang sangat kau rasa?”
Aku semakin tidak bisa berfikir jernih. Yang diotakku hanya prasangka. Lalu aku memapahnya dan membawa kemobil lalu membawanya ke rumah sakit terdekat. Dan dua puluh menit kemudian aku baru tiba disana. Aku langsung meminta petugas rumah sakit untuk membawanya ke UGD, aku kotak Julia untuk segera datang kerumah sakit.
Petugas rumah sakit memintaku untuk masuk ke UGD, Ibuku membuka  matanya seluruh tubuhnya dingin sedingin es. Seluruh kebahagiaan yang kupunya seakan lenyap.
“Muhammad, tolong aku”
“Tolong, apa yang bisa kulalukan untuk menolong. Mom?”
“Bantu aku berwudhu, supaya aku bisa tenang dan masuk kedalam Istana itu”
Istana, apa ini? Aku bingung. Aku meminta suster untuk membawakan air disebuah wadah untuk mewudhui ibuku. Dengan hati-hati aku melakukannya. Selesai.
Ibuku mengucap sebuah rangkaian kata indah yang langsung diajarkan Allah kepada umatNya. Suarnya lirih semakin lama semakin menipis dan hilang. Ia pergi dengan senyum.
Innalillahi wa innailaihi roji’un
Julia dan Robert datang melihat Ibu tak bernyawa lagi, Julia menangis di pundak suaminya.

No comments:

Post a Comment