June 02, 2012

Friend is You

“Ciee, Ivan pacarnya Vrisca ya?”
“Apaan sih?! Kata Mama kalo masih kecil gak boleh pacaran.”
“Van, dicariin Vrisca tuh...”
“Apaan sih Kak. Dari tadi juga Vrisca ada disini.”
“Iya nih Kak Fadli aneh-aneh aja, siapa juga yang nyariin Ivan. Nanti aku bilangin ke Mamanya lho.”
“Ciee yang lagi pacaran.”
“Mamaaaa.... Kak Fadli nih gangguin Ivan sama Vrisca.”

Temanku yang bernama Vrisca tidak pernah lagi terlihat oleh mataku. Sudah hampir lima tahun sejak kepergian kami ke Malaysia membuat kami terpisah jauh sekali dan tanpa tahu apa yang terjadi satu sama lain. Mengingat dia dan kelakuan kami dahulu selalu membuatku terkikik sendiri. Dia adalah teman pertamaku di sekolah dasar dua belas tahun lalu. Selepas sekolah dasar kami berpisah jalan aku sekolah di sekolah menengah di Jakarta dan melanjutkan ke Malaysia hingga kini. Satu hal yang tidak pernah aku lupa tentang dia, dia selalu ada untuk temannya ini, ya aku.
Tiga tahun pertama berteman dengannya tidak pernah ada sedikitpun rasa malu hadir dibenakku karena berteman dengan seorang anak perempuan. Dia adalah teman pertamaku. Aku ingat saat pertama berkenalan, aku sendiri berangkat dihari pertama sekolahku karena sekolah tidaklah terlalu jauh bagiku hanya selemparan batu dan dia diantar oleh ibunya.

“Tuh, ada teman kamu juga. Ibu pulang ya?” kata ibunya
“Ibu, tungguin aku disini. Ya?” kata Vrisca
“Vrisca, kamu kan udah ada temannya. Jadi ibu nggak usah nunggu kamu disini. Sudah ya ibu mau masak.” kata Ibunya lalu mencium kening anaknya.
Aku ingat matanya berkaca-kaca saat itu. Belum sampai menangis aku kearahnya.
“Ih, kamu cengeng. Kok nangis? Aku aja berangkat sendiri” kataku.
Ia hanya diam dan perlahan memalingkan wajahnya kearahku. Pada saat itu tinggi kami hanya setinggi meja dikelas, untuk duduk dikursi kaki kami tidak dapat menyentuh lantai.
“Aku nggak nangis kok.” katanya sambil mengelap ingus yang merembes dari hidungnya.
Aku hanya tersenyum.
“Nama kamu siapa?” tanyaku
“Vrisca” katanya dengan lidah yang masih agak sedikit cedal “Kamu?”
“Aku Ivan. Oh ya kamu yang tinggal di ujung jalan sana kan?”
“Iya.”
Mulai saat itu kami menjadi sahabat yang sangat kuat. Meskipun hanya sepasang anak kecil.
Saat ditahun kedua kami, kami memiliki acara favorit yang sama yaitu sebuah serial asal Mexico yang menceritakan tentang persahabatan. Acara itu ditayangkan pada siang hari ketika kami sudah pulang dari sekolah. Acara itu adalah hanya bagian kecil yang masih aku ingat tentang dia. Jika diuraikan tulisan ini tidak akan cukup untuk mengungkapkannya. Masa kecil yang sangat indah kurasakan. Suatu ketika aku mendapati diriku kecelakaan dengan baik ia menjengukku, meskipun kami telah berubah menjadi remaja ikatan persahabatan kami tidak terputus. Namun, pengetahuan dan juga aturan telah membuat kami saling menghargai satu sama lain.
Kami telah menyadari bahwa kami memiliki kehidupan yang harus diperjuangkan masing-masing lebih dari sekedar persahabatan sepasang anak kecil. Dan akhirnya kami berpisah negeri dan waktu. Ia tetap di Indonesia dan aku melanjutkan studi di Malaysia. Apa yang aku ingat terakhir kali tentang dia? Satu hal, senyumnya yang tulus.
“Maaf pak, keluarga Pak Sutrisno yang tinggal dirumah ini sekarang dimana ya?”
“Wah, sudah pindah dua tahun lalu. Mas ini Ivan ya, anaknya Pak Alfian?”
“Benar, Pak Salim. Masih ingat saya. Terima kasih Pak.” kataku “Ngomong-ngomong pidahnya kemana Pak?”
“Dengar-dengar mereka pindah ke Bogor. Kalau boleh saya tahu ada apa, Van?”
“Saya ingin silaturahim saja, karena sudah lama tidak bertemu dengan mereka. Bapak tahu alamatnya?”
“Sayang sekali, Van saya nggak tahu.”
“Oh iya Pak, bagaimana kabar disini semuanya?”
“Alhamdulillah baik. Bapak dan Ibu masih ada di Malaysia, bagaimana kabar mereka?”
“Alhamdulillah mereka baik-baik saja”
Perasaanku kecut tidak berhasil menemukan mereka.
Hatiku bingung, bagaimana aku bisa menemukan mereka. Setiap teman masa kecilku telah aku temui satu persatu dan hasilnya nihil. Tidak satupun dari mereka tahu keberadaan Vrisca. Ya Tuhan, aku tidak berhasil menemukannya...
“Kalau boleh aku memintamu untuk tetap tinggal, aku akan melakukan apa saja untuk tetap bisa bersamamu.” sebuah kalimat yang tidak asing ditelingaku. Aku mencari kesegala arah asal suara itu. Darimana asalnya?
“Namun, kau tak pernah mengijinkan hal itu. Katamu, “Hidup yang akan kau jalani akan lebih berharga dibanding dengan...” dan kalimatmu terputus.” kata suara itu lagi. Kali ini aku menangkap sosok yang ada dihadapanku. Di sahabat masa kecilku. I found her.

No comments:

Post a Comment